RUMAH ADAT
Sejarah
Sumbawa masih diyakini ada pada buku berjudul “Sumbawa Pada Masa Lalu”, karya
Lulu A. Manca. Dalam buku Sumbawa Pada Masa Lalu tertulis bahwa Van der Wolk
seorang berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan (Gezaghebber)
di Sumbawa pernah menulis sebuah buku “Memorie van Overgave” atau
Kenang-Kenangan selama Memerintah.
Memorie
van Overgave adalah buku yang menjelaskan bahwa penduduk
asli Sumbawa atau disebut tau Samawa, mula- mula adalah penduduk yang
berasal dan bermukim di Semenanjung Sanggar, lereng Gunung Tambora, pada
ketinggian kurang lebih 2.850 mdpl. Mereka berpindah ketempat pemukiman baru di
Sumbawa dengan menyusuri dataran rendah yang saat itu belum digenangi air
lautan akibat mencairnya es Kutub Utara dan Kutub Selatan.
Diperkirakan
pada jaman mencairnya es di kedua kutub bumi yaitu kutub Utara dan Selatan,
mengakibatkan tergenangnya sebagian dataran dan menimbulkan plat atau dangkalan
antara Sumabawa dan Sanggar. Masa akhir jaman es, juga mengakibatkan
tenggelamnya sebagian besar pulau-pulau di Indonesia dan membentuk dangkalan
atau plat. Diantaranya adalah Sunda Plat atau dangkalan Sunda yang terbentang
antara Sumatera, Kalimantan dan Jawa, kemudian Sahul Plat yaitu dangkalan antara
Papua dan Australia bagian Utara, yang tentu saja dapat dibuktikan dengan
berbagai macam kesamaan jenis flora dan fauna.
Penduduk
asli Sumbawa melalui dataran rendah yang belum tergenang air laut itu berpindah
dari Semenanjung Sanggar ketempat pemukimannya yang baru yaitu Sumbawa.
Penduduk Sumbawa yang bermukim lebih awal dan selanjutnya menjadi penduduk asli
kemudian berpindah ke wilayah pedalaman dataran tinggi pegunungan Ropang,
Lunyuk dan bagian selatan Batu Lanteh untuk mencari hunian baru. Dalam buku Memorie
van Overgave tercatat bahwa saat itu Tau Samawa masih menganut
aliran animisme yang cenderung beranggapan bahwa wilayah pegunungan memiliki
kekuatan yang dapat melindungi mereka. Kemudian, kelompok penduduk yang
merupakan kategori pendatang baru, adalah berasal dari Bugis- Makasar,
Banjarmasin dan Jawa masuk setelahnya ke Sumbawa dan mendiami wilayah pesisir.
Kelompok- kelompok penduduk ini selanjutnya menetap untuk seterusnya dan
memiliki hak atas tanah yang telah ditempati sejak lama untuk dimanfaatkan.
Bagian tanah ini dalam istilah adat Sumbawa dikenal dengan sebutan “Lar
Lamat”.
Lar
Lamat adalah tanah tempat tinggal, sawah, ladang dan aliran sungai atau
danau serta tempat mereka dimakamkan jika mereka meninggal dunia. Selanjutnya untuk
mengawasi dan sekaligus menguasai “Lar Lamat”, dipilihlah seorang
penguasa atau pemimpin yang disebut “Nyaka”. Jika ada penduduk berikutnya yang
datang dan ingin bermukim dan mencari nafkah dengan membuka tanah baru disitu,
tanah itu yang disebut “Tana Penyaka”, mereka akan diterima dan mendapat
hak serta kedudukan yang sama dengan syarat mereka harus tetap mematuhi
ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Nyaka dan berlaku untuk setiap
anggota masyarakat tana penyaka. Kelak, kelompok- kelompok penduduk
inilah yang kemudian berkembang dan memiliki wilayah sendiri, membentuk hukum
sendiri dan sistem pemerintahan sendiri.
Artinya,
Sumbawa adalah bukan daerah pariwisata. Melainkan Kabupaten lestari dengan
sistem mata pencaharian dan sumber penghidupan utama beternak dan bercocok
tanam bagi "Tau Samawa" (Sebutan daerah untuk suku Sumbawa).
Mereka
ke sawah dengan menggunakan peralatan tardisional berupa cangkul atau bingkung,
rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan
hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau. Pola bercocok tanam ini mulanya
diperkenalkan oleh orang-orang Jawa Majapahit pada masa kerajaan-kerajaan Hindu
Sumbawa. Mekanisasi pertanian sekarang ini mulai tampak pada masyarakat
Sumbawa. Pada sejumlah tempat mulai terlihat pemanfaatan handtractor dan
alat-alat modern lain sebagai pengganti peran hewan ternak dalam pengolahan
lahan-lahan pertanian.
Untuk
menggarap ladangnya atau “merau” cara-cara tradisional masih dipakai hingga
kini yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses pengolahan
untuk ditanami beberapa jenis tanaman pangan. Akan tetapi, tidak setiap hari
para petani ini meluangkan waktunya berada di sawah atau ladangnya, hanya
beberapa kali saja dalam seminggu tanaman yang telah ditanam ini mendapatkan
pemeliharaan.
Cara
mendapatkan lahan-lahan pertanian inipun begitu mudah, Tau Samawa dapat
menemukan lahan untuk bertani, berkebun, dan berladang dengan menandai areal
temuannya itu dengan menggantung batu asah atau menanam pohon tertentu seperti
bage (Pohon Asam), ketimus, dan bungur yang sudah sama- sama dikenal dan diakui
secara konvensi sebagai tanda bahwa lahan itu telah menjadi milik seseorang dan
sekaligus untuk menghindari klaim dari orang lain. Konsep ini bagi Tau
Samawa telah dipertegas dalam ungkapan tumpan aeng-aeng tu tumpan nan
tubaeng, artinya orang yang menjumpai ialah yang memiliki. Ungkapan ini
menunjuk pada pemilikan tanah, tempat tinggal atau areal tertentu yang menjadi
miliknya, konsep ini juga berlaku pada pekerjaan mencari kayu hutan dan
nganyang (berburu) lebah madu dengan memberikan tanda silang dengan parang pada
pohon di mana sarang lebah madu itu ada serta mengikatnya dengan lonto (jenis
tumbuhan menjalar). Bagi tau Samawa yang melanggar pantangan ini dan berusaha
mengambil hak orang lain, maka akan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana dan
mendapat sanksi adat menjadi tau no kangila atau orang tak tahu malu
yang sangat menampar harga diri Tau Samawa.
Masyarakat Sumbawa
yang tinggal di desa-desa umumnya memiliki tempat khusus untuk menyimpan hasil
penennya dalam sebuah klompo atau lumbung yang dibangun berdekatan
dengan bangunan rumahnya. Bagi Tau Samawa menyimpan hasil panen adalah
penting, mengingat bila saat paceklik tiba, Sumbawa mengalami kemarau yang
cukup panjang. Maka selain menyimpan hasil panen di lumbung-lumbung, para atau
loteng rumah merekapun memiliki tabungan hasil panen. Sedangkan untuk peralatan
pertaninan ditempatkan di bongan atau kolong yang terdapat pada bagian
bawah rumah panggung.
Menjadi
nelayan merupakan pekerjaan pilihan lain bagi Tau Samawa. Peralatan
seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai
perangkap dimanfaatkan untuk menjebak dan menangkap ikan di sungai ataupun di
rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring lebih diutamakan untuk menangkap
ikan di laut.
Pekerjaan
penting lainnya adalah berburu atau nganyang dengan menggunakan
peralatan tear atau tombak dan poke atau tombak bermata dua, lamar
atau jerat, dan dengan memanfaatkan anjing pemburu. Nganyang pada
umumnya merupakan pekerjaan sambilan yang dipilih oleh sebagian Tau Samawa yang
tinggal di sekitar perbukitan, sedangkan pekerjaan utama mereka adalah meramu
hasil- hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau
pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah,
jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional yang
terkenal dengan sebutan Minyak Sumbawa. Konon, proses pembuatan minyak
sumbawa adalah kegiatan turun temurun dan unik. Dimana, "Sandro"
(sebutan untuk tau Samawa yang memiliki kekuatan supranatural), mengaduk
seluruh ramuan minyak dalam belangga dalam kondisi masih mendidih diatas bara
api.
Masyarakat
di luar kepulauan lain mengenal Sumbawa dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi,
dan kerbau, namun jarang yang mengetahui bahwa hewan-hewan ternak ini
dipelihara dengan menggunkan sistem pemeliharaan yang unik. Tau Samawa
tidak menambat hewan-hewan ternaknya, hewan-hewan ini dilepas begitu saja di
padang-padang gembala atau lar, sedangkan untuk menjaga tanaman
pertanian mereka dari serangan hewan ternak, para petani Sumbawa berusah
memagari sawah dan ladangnya dengan menanami kayu jawa pada batas lahannya.
Karena itulah Sumbawa terkenal sebagai penghasil ternak kuda, sapi dan kerbau
terbesar dan terbaik di Indonesia, terutama di kalangan pengepul sapi, kuda dan
kerbau yang berdatangan dari berbagai daerah dan mengangkut hasil ternak ini
dengan truk-truk besar. Kapal-kapal pengangkut ternak biasanya disiapkan di
Labuhan Badas Sumbawa, hingga Pelabuhan Sape di Bima jika akan dikirim ke
daerah yang cukup jauh dari Sumbawa. Daerah pembeli ternak ini bahkan datang
dari Toraja. Konon, pasokan kerbau terbesar menuju Sumatera adalah kerbau-kerbau
yang berasal dari Sumbawa.
Pekerjaaan
pedagang adalah pekerjaan masyarakat Sumbawa dari etnis Cina, Arab, dan Jawa.
Sementara pekerjaan menenun adalah pekerjaan turun temurun yang telah dianggap
kuno dan rumit, tergeser diantara kuatnya orientasi status sosial tau Samawa
saat ini yang lebih bangga bekerja sebagai Pegawai Pemerintahan atau PNS
dan Tambang. Karakteristik yang menonjol dari tau Samawa umumnya adalah gemar
berbicara dan mengurus soal- soal politik, menyenangi filsafat dan ilmu-ilmu
kebatinan, kepercayaan yang begitu kuat pada Sandro atau dukun.
Suku
Sumbawa yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Sumbawa ini pada masa
pra-Majapahit menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sasak Samawa yang
berpusat di Lombok, kemudian ditaklukkan oleh Majapahit dengan pusat pengaruh
di Taliwang dan Seran, sedangkan masa Islam adalah masa penaklukkan Kerajaan
Gowa-Sulawesi terhadap semua wilayah Sumbawa dan Selaparang-Lombok dengan pusat
pemerintahan mula-mula di Lombok kemudian dipindahkan ke Sumbawabesar karena
expansi militer dari kerajaan Gelgel - Bali. Setelah masuknya VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie) Kesultanan Sumbawa menjadi bagian wilayah Gubernemen
Selebes, dan sesuai pembagian wilayah afdeeling maka Sumbawa masuk wilayah Karesidenan
Timor dengan ibukota di Sumbawa Besar.
Sistem
pemerintahan afdeeling kemudian dijabarkan menjadi onderafdeeling
yang terbagi menjadi beberapa daerah administrasi. Beberapa kampung dibagi
menjadi beberapa lingkungan kekuasaan yang merupakan onderdistrict, dan
beberapa onderdistrict digabung menjadi satu district setingkat
kabupaten saat ini. Penggabungan onderdistrict tidak berlangsung lama
kemudian menjadi onderdistrict yang berdiri sendiri dan berubah menjadi
wilayah kademungan. Wilayah kademungan sekarang berubah menjadi wilayah
kecamatan yang membawahi beberapa desa.
Pada
masa pemerintahan orde lama, sistem pemerintahan desa di Sumbawa dipegang oleh
seorang gabung yang dibantu oleh beberapa tau loka karang
sebagai penasihat yang berasal dari setiap kelompok kekerabatan penghuni
kampung. Gabung juga dibantu oleh malar sebagai pengatur dan
pembagi air pada lahan pertanian, dan juga dibantu oleh seorang mandur yang
bertindak sebagai penghubung antara kepentingan masyarakat dengan pemerintahan
desa.
Pola
perkampungannya berbentuk kelompok rumah, setiap kelompok masih memiliki ikatan
kekerabatan yang disatukan oleh sebuah pagar kampung. Tata letaknya selalu
menyesuaikan dengan pengetahuan masyarakat mengenai urat tanah yang dalam
pelaksanaanya hanya bisa diketahui oleh sandro. Setiap kepala keluarga
memiliki tanggung jawab adat membantu membangun rumah anggota kelompok yang
baru secara gotong royong di bawah komando tau loka karang, demikian
konsep itu dirumuskan dengan nama bayar siru atau balas budi, sehingga
anggota kelompok yang melanggar akan dikucilkan. Konsepsi bayar siru ini
masih berlaku hingga sekarang, terutama di kampung- kampung di daerah pedesaan.
Sekarang,
organisasi kemasyarakatan di tingkat desa dimodernisasi menjadi sebuah desa
atau kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah atau kepala desa yang membawahi
beberapa dusun, dan setiap dusun terdapat kelompok warga yang tergabung dalam
rukun warga yang terdiri atas beberapa rukun tetangga. Sebagai lembaga
eksekutif di tingkat desa dibentuklah Badan Perwakilan Desa, sedangkan tugas
malar digantikan oleh Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A).
Sumbawa
sangat kental dengan nuansa Islam, sehingga dalam kehidupan beragama atau hukum
pada setiap desa terdapat seorang pemimpin yang dinamakan penghulu, lebe,
mudum, ketib, marbot, dan rura. Masyarakat Sumbawa juga mewarisi
pelapisan sosial dari masa Kesultanan Sumbawa yang ditandai dengan munculnya
tiga golongan, yakni golongan bangsawan yang bergelar dea atau datu,
kedua golongan merdeka atau tau sanak, dan ketiga golongan masyarakat
biasa yang tidak merdeka atau tau ulin abdi.
Untuk
golongan terakhir ini telah dihapus semenjak dikeluarkannya dekrit Sultan
Muhammad Kaharuiddin III tahun 1959 saat menjabat sebagai Kepala Daerah
Swatantra Tingkat II Sumbawa.
Sumber : SumbawaKab.go.id
Sumbawanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar