Demokrasi sering diidentikkan dengan Barat. Salah satu sistem politik ini awalnya tumbuh dan berkembang di dunia Barat. Dalam sejarah perkembangannya, demokrasi menembus masuk ke berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Termasuk pula di Indonesia. Kultur demokrasi, yang diuraikan dalam konsepsi "kerakyatan", "kekeluargaan", dan "gotong royong" sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia, termasuk pula kaum muslimin. Unsur-unsur demokrasi itu bisa kita lihat di dalam sistem dan kehidupan masyarakat pedesaan di Jawa.
Kalau kita
telusuri, di dalam demokrasi khas Indonesia itu terkandung makna sifat
"gotong royong", cara-cara kekeluargaan dalam mengurus sesuatu, atau
"musyawarah untuk mufakat". Unsur-unsur demokrasi Indonesia ini
dirumuskan dalam salah satu sila Pancasila, yang telah disepakati oleh
para pendiri negara kita ini, yaitu "Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan." Sila inilah yang
tampaknya menjadi asas dasar demokrasi Indonesia. Di dalam sila keempat
Pancasila itu terdapat kata "permusyawaratan", yang berasal dari kata
bahasa Arab, yaitu syuuraa atau musyaawarah. Karena itu, tidak heran
bila demokrasi sering diasumsikan dengan kata syuuraa atau musyaawarah,
sekalipun ada beberapa perbedaan antara kedua konsep tersebut.
Syuuraa atau
musyaawarah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia, khususnya
kaum muslimin. Bahkan, karena pentingnya, kata syuuraa menjadi salah
satu nama surat Alquran, yaitu surat ke-42. Di dalam Alquran, masalah
musyawarah disebut pada tiga ayat. Pertama, kita bisa lihat dan baca
pada QS 'Ali 'Imraan [3]: 159. Dalam ayat Alquran ini, Allah berfirman,
"..., maka maafkanlah mereka, mohonlah ampunan bagi mereka dan
bermusyawarah dengan mereka dalam urusan (tertentu/yang penting),
kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada
Allah SWT. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya." Kedua, kita bisa simak pada QS Al-Syuuraa [42]: 38.
Dalam ayat
ini, Allah berfirman, "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi,
menyambut) seruan Tuhan mereka dan mendirikan shalat (dengan sempurna),
sedangkan tentang urusan mereka, mereka memutuskannya dengan musyawarah
di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami
berikan kepada mereka." Dan ketiga, kita bisa cermati pada QS Al-Baqarah
[2]: 233. Di dalam ayat ini, Allah berfirman dengan tegas, bahwa "
...apabila kedua orangtua (suami dan istri) ingin menyapih anak mereka
(sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawaratan antarmereka,
maka tidak ada atas mereka ...." Ketiga ayat di atas menegaskan, bahwa
Islam memiliki cakupan konsep musyawarah. Islam memandang musyawarah
sebagai unsur terpenting bagi kehidupan umat manusia, baik sebagai
individu, anggota masyarakat, maupun para elite politik.
Khusus
tentang ayat ketiga di atas, oleh masyarakat umum, masalah menyapih
selalu dianggap sebagai urusan perempuan. Padahal, seperti ditegaskan
ayat Alquran itu, persoalan menyapih seorang anak merupakan masalah
keluarga yang perlu dimusyawarahkan antara suami dan istri. Menyapih
berkaitan langsung dengan hak anak. Dalam masalah menyapih ini, baik
anak, ibu, maupun ayah, tidak ada yang boleh menjadi korban. Dalam ayat
sebelumnya disebutkan, sang ibu tidak boleh menderita karena anak, dan
sang bapak juga tidak boleh menderita karena anak. Jadi, tujuan
musyawarah dalam keluarga, seperti diisyaratkan dalam ayat Alquran
tentang menyapih itu, adalah untuk menghindari jatuhnya korban di antara
anggota keluarga.
Ayat Alquran
itu memberi jalan keluar bagi orangtua, terutama suami dan istri, yang
sedang menghadapi masalah, khususnya masalah menyapih anak, di dalam
keluarga, yaitu dengan jalan musyawarah. Musyawarah ditujukan untuk
mencari formulasi terbaik jangan sampai ada yang dirugikan. Intinya,
semua persoalan yang dihadapi orangtua, terutama di dalam keluarga,
harus dibicarakan dan dicarikan solusinya untuk mendapatkan keputusan
yang terbaik. Musyawarah seharusnya menjadi landasan pokok dalam membina
kehidupan berkeluarga. Musyawarah dan permufakatan ditujukan untuk
menjalin kerjasama dalam kebaikan dengan semangat persaudaraan, bukan
semangat kalah dan menang.
Unsur demokrasi
Hal-hal lain
yang perlu ditekankan atau ditanamkan di dalam kehidupan keluarga-yang
berkaitan dengan demokrasi atau musyawarah, adalah penegakan keadilan.
Berbuat adil, yang sering diidentikkan dengan persamaan atau
keseimbangan, merupakan salah satu unsur demokrasi. Di dalam masyarakat
modern, terutama keluarga masa kini, persamaan atau berbuat adil tidak
bisa diabaikan. Demokrasi mengajarkan kepada kita tentang persamaan pada
seluruh anggota keluarga. Tidak ada yang memegang hak mutlak. Tidak ada
yang otoriter. Tidak ada yang bersikap tiranik. Demokrasi itu dapat
dipastikan menolak elitisme. Tidak ada yang boleh berkuasa terhadap
pihak lain. Semuanya sama sebagai manusia. Bahkan, dalam soal pernikahan
pun seorang gadis tidak bisa dipaksakan. Istilah wali mujbir juga tidak
bisa digunakan sewenang-wenang.
Selama ini
kita sering melihat adanya kesewenang-wenangan orangtua, khususnya sang
bapak untuk memaksakan anak gadisnya menikah dengan orang yang tidak
disukai anaknya. Istilah wali mujbir menjadi landasan pegangan untuk
memaksa anak gadisnya menikah dengan orang yang tidak dicintainya.
Pemaksaan pernikahan semacam ini tentu saja keluar dari koridor praktik
demokrasi. Padahal, limabelas abad lalu, Nabi Muhammad telah
memerintahkan agar kita berbuat adil kepada sesama manusia, sekalipun
kepada anak-anak kita di dalam keluarga. Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan Imam Al-Thabrani, Rasulullah menyebutkan agar kita
menyamakan anak-anak kita dalam hal pemberian, misalnya memberikan
hadiah. Kita tidak boleh membeda-bedakan antara anak laki-laki dan anak
perempuan.
Kalau kita
mau memberi hadiah lebih, maka kita sebaiknya memberikannya kepada anak
perempuan. Persamaan yang diperintahkan Nabi ini tidak hanya berhubungan
dengan soal pemberian hadiah, tapi juga dalam hal pendidikan, pelayanan
kesehatan, dan sebagainya. Di samping itu ada juga hal lain yang kita
kira perlu ditanamkan dalam keluarga. Yaitu, bagaimana keluarga menjadi
ajang penyemaian pada anggotanya untuk menghargai pluralitas. Sebab,
dari keluargalah, kita bisa memulai segala sesuatu. Di dalam keluarga
terdapat macam-macam karakter yang berbeda-beda. Karena itu, dapat
dipastikan, bahwa keluarga kita berbeda dengan tetangga. Pluralitas
semacam ini perlu ditanamkan dalam keluarga sejak dini mungkin, sehingga
bangunan demokrasi dapat terwujud melalui budaya demokrasi di dalam
keluarga kita.
Praktik demokrasi
Dalam
menerapkan demokrasi dalam keluarga, kita biasanya memberikan kepada
anak-anak kita sesuatu yang sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Kita
juga perlu menerapkan kepada anak-anak kita untuk melaksanakan segala
kewajiban mereka sesuai dengan usia mereka. Penanaman demokrasi di dalam
keluarga seperti ini merupakan cara yang baik untu dilanjutkan.
Demokrasi itu bukan suatu kebebasan yang tanpa aturan, tetapi bebas
bertanggung jawab. Kita tidak bisa berbuat sebebas-bebasnya.
Anak-anak
kita boleh saja secara bebas melakukan sesuatu, tetapi mereka tidak
boleh melampaui kebebasan. Apa yang anak-anak kita lakukan di dalam
keluarga harus dimintai pertanggungjawabannya. Karena itu, budaya
demokrasi dalam Islam menghendaki adanya acuan pada nilai-nilai islami.
Bukan semata-mata maunya sendiri. Kita tidak boleh memberikan kebebasan
kepada anak-anak kita bila melampaui dari acuan islami. Praktik
demokrasi di dalam keluarga tidak bisa lepas dari ajaran-ajaran agama
(Islam). Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar